Senin, 15 September 2008

Systemic Lupus Erythematosus

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinik bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal seringkali sukar dikenal sebagai SLE, karena manifestasinya sering terjadi tidak bersamaan.


Etiologi

Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus.


Faktor Resiko
  1. Faktor Genetik
    Meliputi;
  • Jenis kelamin à wanita >> Pria
  • Umur à biasanya pada usia 20-40 tahun
  • Etnik
  • Faktor keturunan à dgn Frek. 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut

2. Faktor Resiko Hormon
3. Sinar UV
4. Imunitas
5. Obat
6. Infeksi
7. Stres


Manifestasi Kinis

  • Keluhan utama dan pertama SLE adalah atralgia (Pegal linu di sendi),
    Lalu, timbul atritis non erosif pada dua atau lebih seni perifer.
  • biasanya berlangsung hanya beberapa hari, dan lokasi biasanya di sendi tangan, pergelangan tangan, dan lutut, serta biasanya simetris


Pasien juga mengeluh ;
- Lesu, lemas, dan capai
- Demam
- Pegel Linu seluruh tubuh
- Nyeri otot
- Penurunan berat badan
- Kelainan kulit spesifik berupa bercak malar seperti kupu-kupu di muka dan eritema umum yang menonjol
- Kelainan pada darah, jantung, ginjal, paru, gastrointestinal, saraf, serta psikiatrik


Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Lab yang dilakukan thd pasien SLE;
- Tes ANA ( Anti Nuclear Antibody)
- Tes Anti dsDNA (double stranded)
- Tes Antibodi anti-S (Smith)
- Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti- ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus anti SSB, dan antibodi antikardiolipin)
- Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
- Tes sel LE
- Tes anti ssDNA (single stranded)
Jika ssDNA + à menderita nefritis


Diagnosis


Kriteria untuk klasifikasi SLE dari American Rheumatism Association (ARA, 1992) :
1. Artritis
2. Tes ANA diatas titer normal
3. Bercak Malar
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari --- dari anamnesis
5. Bercak diskoid'
6. Salah satu Kelainan darah;
anemia hemolitik, Leukosit<4000/mm³,> 0,5 g per 24 jam, sedimen seluler
8. Salah satu Serositis;
Pleuritis, Perikarditis
9. Salah satu kelainan Neurologis;
Konvulsi, Psikosis
10. Ulser Mulut
11.Salah satu Kelainan Imunologi
- Sel LE +
- Anti dsDNA diatas titer normal
- Anti Sm (Smith) diatas titer normal
- Tes serologi sifilis positif palsu

" Seorang pasien diklasifikasikan menderita SLE apabila memenuhi minimal 4 dari 11 butir kriteria tersebut diatas "


Penatalaksanaan


Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi;
- Kelompok Ringan
Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan,
efusi pleura/perikard ringan, kelelahan, dan
sakit kepala
- Kelompok Berat
Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit
ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia, lupus
serebral, vaskulitis akut, miokarditis,
pneumonitis lupus, dan perdarahan paru.


Beberapa pertanyaan sebelum melakukan penatalaksanaan SLE, yaitu :
1. Apakah pasien masuk kriteria ARA atau tidak
2. Bila tidak, apakah pasien memenuhi kriteria biopsi atau tidak. Dengan bantuan biopsi ditentukan apakah pasien masuk SLE atau Lupus diskoid
3. Apakah keluhan yang muncul adalah bagian dari penyakit konektif lainnya atau tidak
4. Setelah mengetahui SLE, pastikan organ sasaran yang terkena dan derajat sakitnya
5. Adakah penyakit lain yang bersamaan dengan SLE. Bila ada tentukan apakah primer atau sekunder
6. Upaya pengobatan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan mempertimbangkan untung rugi dari suatu regimen pengobatan

Penatalaksanaan Umum



1. Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup
2. Hindari Merokok
3. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
4. Hindari stres dan trauma fisik
5. Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
6. Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
7. Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen


Penatalaksanaan Medikamentosa


u/ SLE derajat Ringan;
Aspirin, dan obat anti inflamasi non steroid
Penambahan obat anti malaria, HANYA bila ada ruam kulit dan lesi di mukosa membran
Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari. Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan

u/ SLE derajat berat;
Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai kelainan organ sasaran yang terkena


Pengobatan Pada Keadaan Khusus

  • Anemia Hemolitik
    Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan
  • Trombositopenia autoimun
    Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut
  • Perikarditis Ringan
    Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari
  • Perkarditis Berat
    Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
  • Miokarditis
    Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan dengan siklofosfamid
  • Efusi Pleura
    Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase
  • Lupus Pneunomitis
    prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
  • Lupus serebral
    Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-turut


Prognosis

Dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang mutakhir maka 80-90 % pasien dapat mencapai harapan hidup 10 tahun dengan kualitas hidup yang hampir normal

SCLERODERMA

DEFINISI

Scleroderma adalah kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuningan dan keras.


KLASIFIKASI

Skleroderma diklasifikasikan menjadi dua kelompok :

  • Scleroderma difus, ditandai awlanya dengan serangan pada kulit yang meluas, dengan perkembangan yang cepat dan serangan dini pada organ dalam.
  • Skleroderma limitans, dengan serangan pada kulit yang relatif minimal, seringkali hanya terbatas pada jari-jari tangn dan wajah. Serangan pada organ dalam terjadi secara lambat sehingga penyakit pada pasien ini pada umumnya mempunyai perjalanan yang agak jinak. Penyakit ini disebut pula dengan sindrom CREST karena seringkali menunjukkan adanya gambran calsinosis, fenomena raynaud, dismotilitas esofagus, sklerodaktili, dan telangiektasia.


PATOFISIOLOGI


Aktivasi fibroblas disertai fibrosis yang berlebihan merupakan penanda SS. Etiologi SS masih belum diketahui, meskipun penyakit ini dikaitkan dengan aktivasi abnormal sistem imun dan jejas mikrovaskular dan bukan karena suati gangguan intrinsik fibroblas atau sintesis kolagen.

Dinyatakan bahwa sel CD4+ yang meberikan respons terhadap antigen yang hingga saat ini belum teridentifikasi, berakumulasi dalam kulitdan melepaskan sitokin yang mengaktifkan sel mast dan makrofag; kemudian sel ini akan melepas sitokin fibrinogenik, seperti IL-1, TNF, PDGF, TGF-β, dan faktor pertumbuhan fibroblas.


Kemungkinan sel T aktif yang mungkin berperan dalam patogenesis SS didukung oleh suatu pengamatan bahwa beberapa gambaran penyakit ini (termasuk sklerosis kutan) terlihat pada GVHD kronis, yaitu suatu gangguan yang disebabkan oleh aktivasi sel T yang terus menerus pada resipien transplan sumsum tulang allogenik. Aktivasi sel B juga terjadi, seperti yang ditunjukkan oleh adanya hipergamaglobulinemia dan ANA. Meskipun imunitas humoral tidak berperan secra bermakna dalam patogenesis SS, dua dari ANA tersebut bersifat lebih atau kurang khas untuk SS, sehingga berguna untuk diagnosis.


PERJALANAN KLINIS


Skleroderma mengenai perempuan 3x lebih serin daripada lelaki, dengan insiden tertingi pada kelompok usia 50-60 tahun. Hampir semua pasien mengaami fenomena Raynaud, yaitu gangguan vaskuler yang ditandai dengan vaso spasme arteri yang reversible. Tangan secara khusus akan memutih jika terpajan suhu dingin, karena terjadi vasospasme yang diikuti dengan timbulnya warna kebiruan.


Akhirnya warna berubah menjadi merah, karena vasodilatasi reaktif kolagenisasi progresif pada kulit akan menyebabkan atropi tang yang disertai dengan rasa kaku yng meningkat dan pada akhirnya terjadi imobilisasi gerak sendiri. Kesulitan dalam menelan terjadi akiba fibrosis esofagus dan hipomotilitas yang dihasilkan. Akhirnya kerskan dinding esofagus akan menimbulkan atoni dan dilatasi. Malabsorbsi dapat terjadi jika atropi submukosa dan oto serta fibrosis terjadi pada usus halus. Dispnea serta batuk kronik menggambarkan adanya perubahan pada paru hipertensi pulmonal sekunder dapat tejadi jika serangan lanjut pada paru yang menyebabkan disfungsi jantung kanan. Gangguan fungsi ginjal yang disebabkan baik oleh perkembangan lanjut skleroderma maupun hipertensi maligna yang menyertainya seringkali terjadi.


DIAGNOSA


Kadang-kadang baru dapat dibuat setelah observasi penderita cukup lama.


DIAGNOSA BANDING


Kelainan kulit mula-mula dapat menyerupai mikosis atau lupus eritemaatosus dikoid. Sklerodaktili harus dibedakan dengan lesi pada lepra, siringomieli, dan penyakit Raynaud. Bentuk ini harus didiagnosis banding dengan penyakit Raynaud dan miksedema.
Penyakit tersbut jangan dicampuradukkan dengan skleredema (Buscke). Penyakit ini timbul sesudah penyakit infeksi (influensa, tonsilitis). Klinis terdapat indurasi keras seperi kayu pada leher, torak, toraks, dan muka. Secra histopatologik pada skleroderma terdapat penebalan kolagen dengan hialinisasi, sedangkan pada skleroderma tidak ada hialinisasi.
Kurang lebih ¾ kasus – kasus skleroderma mengalami resolusi lengkap sesudah beberapa bulan. Hanya ¼ di antara semua kasus menjadi resisten selama beberapa tahun. Walaupun demikian tidak ada alat viseral yang terkena. Diabetes melitus merupakan asosiasi sistemik satu – satunya.

STEVENT JOHNSON SINDROM

DEFINISI

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.


PATOFISIOLOGI

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.


GEJALA KLINIK/Symptom

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di :

  • Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
  • Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
  • Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.


DIAGNOSA


Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.


DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.


PENATALAKSANAAN


Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :

  • Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
  • Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
  • Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
  • Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
  • Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
  • Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
  • Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
  • Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
  • Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.


Hingga kini tidak ada bukti yang cukup bahwa ada terapi khusus menangani Stevens-Johnson syndrome atau toxic epidermal necrolysis. Demikian yang disimpulkan oleh sebuah studi yang mengevaluasi penggunaan dua obat yang selama ini digunakan untuk mengatasi gangguan tersebut, yakni intravenous immunoglobulin (IVIG) dan kortikosteoid.


Menurut hasil studi, dilaporkan dalam edisi Januari Journal of the American Academy of Dermatology, pemberian IVIG tampak tidak begitu bermanfaat untuk Stevens-Johnson syndrome atau toxic epidermal necrolysis. Sementara kortikosteroid dipertimbangkan masih memberikan manfaat untuk gangguan ini.


Stevens-Johnson syndrome atau toxic epidermal necrolysis merupakan penyakit yang jarang muncul dengan penyebab yang jelas, yakni akibat penggunaan obat berisiko tinggi. Reaksi alergi yang terjadi biasanya ditandai dengan peyobekan epidermis mati dan erosi membran mukosa. Dan, hingga kini belum ada pengobatan standar untuk mengatasi penyakit ini.
Pada studi tersebut, peneliti mengevaluasi efek berbagai pengobatan terhadap kematian 281 pasien dari Jerman dan Perancis terkait dengan Stevens-Johnson syndrome dan toxic epidermal necrolysis. Pasien menerima satu dari beberapa pengobatan berikut: perawatan suportif saja, IVIG saja, IVIG plus kortisteroid, dan kortikosteroid saja. Ketiga grup terakhir juga menerima perawatan suportif.


Hasil studi menunjukkan, tak satu pun baik kortikosterod maupun IVIG memiliki dampak signifikan terhadap kematian dibandingkan hanya dengan perawatan saja. Peran atau nilai kortikosteroid untuk Stevens-Johnson syndrome dan toxic epidermal necrolysis perlu dieksplorasi lebih jauh, karena memperlihatkan sedikit perbaikan.


PROGNOSIS
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

skenario blok about hiv/aids

Tn.Rudi (28 th) dating ke IGD RSU Raden Mattaher dengan keluhan panas tinggi > 1 minggu disertai batuk berdahak kehijauan dan sakit kepala. Berat badan turun dalam 1 bulan ini > 10 kg. Tidak bias makan karena sariawan pada mulut sejak ± 2 bulan yang lalu. Riwayat 7 tahun yang lalu pemakai Narkoba suntik.
Pada Pemeriksaan fisik ditemukan :
Keadaan umum : tampak sakit berat, kurus
Berat Badan : 35 kg
Tanda vital : T : 110/70 mmHg Respiratory rate (RR) : 28 x/menit
Nadi : 120x/ menit Suhu (t) : 39º C
Mata : Konjungtiva palpebrae anaemis
Mulut : Tampak diselubungi lapisan putih pada langit-langit dan lidah
Paru : Ronkhi diseluruh lapangan paru kanan-kiri
Ekstremitas : Dipergelangan tangan kiri tampak banyak sikatriks bekas luka
sayatan


KLARIFIKASI ISTILAH
1. Batuk berdahak kehijauan : Batuk yang akibatkan oleh inflamasi dan infeksi
pada paru.
2. Sakit Kepala : Merasa tidak nyaman atau menderita pada
bagian kepala diakibatkan terkena sesuatu.
3. Sariawan : Iritasi pada mukosa mulut.
4. Narkoba Suntik : Obat terlarang yang dimasukkan kedalam tubuh
dengan menggunakan jarum suntik.
5. Sikatriks : Jaringan parut yang tertinggal setelah
penyembuhan luka.
6. Ronkhi : Suara pernapasan kasar dan kering serta terus-
menerus pada tenggorokan atau saluran bronkus.




IDENTIFIKASI MASALAH
  • Tn.Rudi dengan keluhan panas tinggi > 1 minggu disertai batuk berdahak.
  • Berat Badan turun dalam 1 bulan > 10 kg
  • Tidak bisa makan karena sariawan mulut sejak ± 2 bulan lalu
  • 7 tahun yang lalu pemakai narkoba suntik
  • Pada Pemeriksaan fisik ditemukan
    Keadaan umum : Tampak sakit berat, kurus
    Berat Badan : 35 kg
    Tanda vital : T 110/70 mmHg (RR) : 28 x/menit
    Nadi : 120x/ menit Suhu (t) : 39º C
    Mata : Konjungtiva palpebrae anaemis
    Mulut : Tampak diselubungi lapisan putih pada langit-
    langit dan lidah
    Paru : Ronkhi diseluruh lapangan paru kanan-kiri
    Ekstremitas : Dipergelangan tangan kiri tampak banyak
    sikatriks bekas luka sayatan


ANALISIS MASALAH


Tn.Rudi dengan keluhan panas tinggi > 1 minggu disertai batuk berdahak

  • Mengapa Tn. Rudi dengan keluhan panas tinggi > 1 minggu disertai batuk
    berdahak kehijauan dan sakit kepala?
  • Apa hubungan antara panas tinggi > 1 minggu disertai batuk
    berdahak kehijauan dan sakit kepala dengan pemeriksaan fisik didapatkan
    suhu 39º C dan terdapat ronkhi diseluruh lapangan paru kiri dan kanan
    dengan terjadinya infeksi pada saluran pernapasan?


Berat Badan turun dalam 1 bulan > 10 kg

  • Apa hubungan antara berat badan turun > 10 kg dengan tak bisa makan
    karena sariawan pada mulut sejak ± 2 bulan yang lalu ?
  • Faktor lain apa saja yang menyebabkan berat badan turun > 10 kg ?
    Tidak bisa makan karena sariawan mulut sejak ± 2 bulan lalu
  • Apakah normal sariawan ± 2 bulan pada Tn.Rudi ? Jika tidak normal, mengapa hal itu bisa terjadi pada Tn. Rudi?
  • Apakah normal jika dimulut pada langit-langit dan lidah diselubungi lapisan putih? Jika tidak normal mengapa hal itu bisa terjadi pada Tn. Rudi?

7 tahun yang lalu pemakai narkoba suntik

  • Apa ada pengaruh dengan riwayat pemakaian narkoba selama 7 tahun yang lalu dengan keadaan yang dialami Tn. Rudi sekarang?
  • Apakah dampak bagi seseorang terhadap pemakaian narkoba suntik?
  • Apakah ada pengaruh pemakaian narkoba dengan sistem imun tubuh?

Pada Pemeriksaan fisik

  • Apa yang menyebabkan konjungtiva palpebrae anaemis ?
  • Apakah kemungkinan yang terjadi pada Tn. Rudi dengan ditemukannya Konjungtiva palpebrae anaemis +/+?

HIPOTESIS
Tn. Ali mengidap HIV/AIDS yang mengakibatkan immunodeficiency.


SINTESIS


Berdasarkan keluhan dan pemeriksaan fisik dari Tuan Rudi di dapat adanya :

  • Candidiasis oral
  • TB paru
  • Penurunan berat badan

Hal itu menunjukkan terjadi nya imunodefisisensi yang di sebabkan oleh infeksi virus hiv akibat pemakaian narkoba oleh jarum suntik.


Hiv/ aids


Definisi
Aids ( Acquired Immuno Deficiency Syndrome) dapat diartikan kumpulan gejala atau penyakit yang di sebabkan oleh menurun nya kekebalan tubuh oleh virus hiv ( Human Immunodeficiency Virus ) yang termasuk famili retrofiridae. Aids merupakan tahap akhir dari hiv.
Aspek klinis HIV/ aids
Setelah terpapar hiv tidak secara langsung menimbulkan gejala klinis aids. Tidak setiap paparan pasti akan menimbulkan aids. Resiko penularan hiv jika terjadi paparan ( dalam hal ini paparan yang terkait pekerjaan ) sebesar 0.3 %
Ada beberapa tahapan infeksi hiv sampai timbul nya manifestasi klinis aids yaitu:

  • Tahap transmisi virus ( 2 – 3 minggu )
  • Tahap gejala retro virus akut (2- 3 minggu )
  • Tahap recovery dan seroconversi ( 2- 4 minggu )
  • Infeksi klinis hiv asimptomatik ( sekitar 8 tahun )
  • Tahap sindrom hiv ( manifestasi aids ) sekitar 1,3 tahun.
  • badan terasa cepat lelah
  • sering demam tinggi disertai mengeluarkan keringat dimalam hari
  • berat badan turun secara drastis
  • mengalami sesak nafas dan batuk kering yang tak kunjung sembuh
  • diare dan mencret lebih dari 1 bulan
  • terdapat bercak putih atau sariawan
  • terdapat bercak merah pada kulit


Pada awal infeksi penderita HIV/ Aids positif tidak tampak berbeda dengan orang normal.


Hiv dapat di tularkan dengan 3 cara yaitu:

  • Hubungan sex ( anal, oral, vaginal ) yang tidak terlindung dengan orang yang telah terinfeksi hiv.
  • Penggunaan jarum suntik secara bergantian
  • Ibu hamil mengidap HIV kepada bayi yang di kandungnya.


PATOGENESIS
Limfosit CD4+ merupakan target utama Hiv karena virus karena mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. limfosit CD4+ berfungsi kan mengordinasikan sejumlah fungsi immunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imán yang progresif.
Hal ini dapat menyebabkan menurunnya sistem imán tubuh yang di sebut imunodefisiensy. Akibat immunodefisiensy akan menyebabkan oportunistik infeksi yang di alami oleh Tuan Rudi.


Oportunistik infeksi dalam kasus infeksi
Pada kasus Tuan Rudi TB Paru dan candidiasis oral merupakan bagian dari oportunistik infeksi.


TB Paru


Tuberculosis dapat muncul pada tahap awal atau tahap lanjut pada infeksi hiv. Kejadian ini biasa nya banyak terjadi dimana inciden infeksi tuberculosis sudah tinggi pada populasi contoh nya pada negara indonesia.
Tb paru menimbulkan gejala seperti:

  • Batuk berdahak kehijauan seperti nanah
  • Demam
  • Sakit kepala
  • Nafsu makan berkurang
  • Tidak enak badan
  • Pada pemeriksaan dada dengan menggunakan stetoskop akan terdengar suara ronkhi.


Candidiasis


Sejenis infeksi ragi yang di sebabkan oleh candida albikans merupakan organisme normal dari saluran cerna tapi dapat menimbulkan infeksi oportunistic candida pada mulut/ trush tampak sebagai lapisan putih pada lidah, kadang- kadang di sertai bercak- bercak di sudut mulut. Candidiasis dapat menjadi infeksi yang mengancam jiwa pada pasien dengan gangguan kekebalan tubug seperti hiv/ aids


Pengobatan candidiasis
menghilangkan faktor-faktor predisposisi untuk pengobatan candidiasis oral di gunakan nistatin 500ribu U/ hari dengan cara di kumur-kumur

Selasa, 12 Agustus 2008

DIARE

Diare adalah sebuah penyakit di mana penderita mengalami buang air besar yang sering dan masih memiliki kandungan air berlebihan. Di Dunia ke-3, diare adalah penyebab kematian paling umum kematian balita, membunuh lebih dari 1,5 juta orang per tahun.

Kondisi ini dapat merupakan gejala dari luka, penyakit, alergi (fructose, lactose), penyakit dari makanan atau kelebihan vitamin C dan biasanya disertai sakit perut, dan seringkali enek dan muntah. Ada beberapa kondisi lain yang melibatkan tapi tidak semua gejala diare, dan definisi resmi medis dari diare adalah defekasi yang melebihi 200 gram per hari.
Hal ini terjadi ketika cairan yang tidak mencukupi diserap oleh usus besar. Sebagai bagian dari proses digestasi, atau karena masukan cairan, makanan tercampur dengan sejumlah besar air. Oleh karena itu makanan yang dicerna terdiri dari cairan sebelum mencapai usus besar. Usus besar menyerap air, meninggalkan material yang lain sebagai kotoran yang setengah padat. Bila usus besar rusak atau "inflame", penyerapan tidak terjadi dan hasilnya adalah kotoran yang berair.
Diare kebanyakan disebabkan oleh beberapa infeksi virus tetapi juga seringkali akibat dari racun bakteria. Dalam kondisi hidup yang bersih dan dengan makanan mencukupi dan air tersedia, pasien yang sehat biasanya sembuh dari infeksi virus umum dalam beberapa hari dan paling lama satu minggu. Namun untuk individu yang sakit atau kurang gizi, diare dapat menyebabkan dehidrasi yang parah dan dapat mengancam-jiwa bila tanpa perawatan.
Diare dapat menjadi gejala penyakit yang lebih serius, seperti disentri, kolera atau botulisme, dan juga dapat menjadi indikasi sindrom kronis seperti penyakit Crohn. Meskipun penderita apendistis umumnya tidak mengalami diare, diare menjadi gejala umum radang usus buntu.
Diare juga dapat disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan, terutama dalam seseorang yang tidak cukup makan.
Perawatan untuk diare melibatkan pasien mengkonsumsi sejumlah air yang mencukupi untuk menggantikan yang hilang, lebih baik bila dicampur dengan elektrolit untuk menyediakan garam yang dibutuhkan dan sejumlah nutrisi. Untuk banyak orang, perawatan lebih lanjut dan medikasi resmi tidak dibutuhkan.
Diare di bawah ini biasanya diperlukan pengawasan medis:
Diare pada balita
Diare menengah atau berat pada anak-anak
Diare yang bercampur dengan darah.
Diare yang terus terjadi lebih dari 2 minggu.
Diare yang disertai dengan penyakit umum lainnya seperti sakit perut, demam, kehilangan berat badan, dll.
Diare pada orang bepergian (kemungkinan terjadi infeksi yang eksotis seperti parasit)
Diare dalam institusi seperti rumah sakit, perawatan anak, institut kesehatan mental.

ANEMIA

Apa Itu Anemia?
Anemia adalah kekurangan hemoglobin (Hb). Hb adalah protein dalam sel darah merah, yang mengantar oksigen dari paru ke bagian tubuh yang lain.
Anemia menyebabkan kelelahan, sesak napas dan pusing. Orang dengan anemia merasa badannya kurang enak dibandingkan orang dengan tingkat Hb yang wajar. Mereka merasa lebih sulit untuk bekerja. Ini berarti mutu hidupnya lebih rendah.
Tingkat Hb diukur sebagai bagian dari tes darah lengkap (complete blood count/CBC). Lihat Lembaran Informasi 121 untuk informasi lebih lanjut tentang tes laboratorium ini.
Anemia didefinisikan oleh tingkat Hb. Sebagian besar dokter sepakat bahwa tingkat Hb di bawah 6,5 menunjukkan anemia yang gawat. Tingkat Hb yang normal adalah sedikitnya 12 untuk perempuan dan 14 untuk laki-laki.
Secara keseluruhan, perempuan mempunyai tingkat Hb yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Begitu juga dengan orang yang sangat tua atau sangat muda.

Apa Penyebab Anemia?
Sumsum tulang membuat sel darah merah. Proses ini membutuhkan zat besi, serta vitamin B12 dan asam folat. Eritropoietin (EPO) merangsang pembuatan sel darah merah. EPO adalah hormon yang dibuat oleh ginjal.
Anemia dapat terjadi bila tubuh kita tidak membuat sel darah merah secukupnya. Anemia juga disebabkan kehilangan atau kerusakan pada sel tersebut. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan anemia:
Kekurangan zat besi, vitamin B12 atau asam folat. Kekurangan asam folat dapat menyebabkan jenis anemia yang disebut megaloblastik, dengan sel darah merah yang besar dengan warna muda (lihat Lembaran Informasi (LI) 121).
Kerusakan pada sumsum tulang atau ginjal
Kehilangan darah akibat pendarahan dalam atau siklus haid perempuan
Penghancuran sel darah merah (anemia hemolitik)
Infeksi HIV dapat menyebabkan anemia. Begitu juga banyak infeksi oportunistik (lihat LI 500) terkait dengan penyakit HIV. Banyak obat yang umumnya dipakai untuk mengobati HIV dan infeksi terkait dapat menyebabkan anemia.
Anemia dan HIV
Dahulu, anemia berat jauh lebih umum. Lebih dari 80% yang didiagnosis AIDS mengalami anemia dengan tingkat tertentu. Orang dengan penyakit HIV lebih lanjut, atau dengan jumlah CD4 lebih rendah, mengalami angka anemia lebih tinggi.
Angka anemia menurun setelah Odha mulai memakai terapi antiretroviral (ART). Anemia berat jarang terjadi di negara maju. Namun ART belum memberantas anemia. Satu penelitian besar menemukan bahwa kurang lebih 46% pasien mempunyai anemia ringan atau sedang, walaupun sudah memakai ART selama satu tahun.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan angka anemia semakin tinggi pada Odha:
Jumlah CD4 yang lebih rendah (lihat LI 124)
Viral load yang lebih tinggi (lihat LI 125)
Memakai AZT (lihat LI 411)
Pada perempuan
Kelanjutan penyakit HIV kurang-lebih lima kali lebih umum pada orang dengan anemia. Anemia juga dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Mengobati anemia tampaknya dapat menghapuskan risiko ini.
Bagaimana Anemia Diobati?
Mengobati anemia tergantung pada penyebabnya.
Pertama, mengobati pendarahan kronis. Ini mungkin pendarahan dalam, wasir, atau bahkan sering mimisan
Berikut, memperbaiki kelangkaan zat besi, vitamin B12 atau asam folat, jika ada
Berhenti memakai, atau mengurangi dosis obat penyebab anemia
Pendekatan ini mungkin tidak berhasil. Mungkin mustahil berhenti memakai semua obat yang menyebabkan anemia. Dua pengobatan lain adalah transfusi darah dan suntikan EPO.
Transfusi darah dahulu satu-satunya pengobatan untuk anemia parah. Namun, transfusi darah dapat menyebabkan infeksi dan menekan sistem kekebalan tubuh. Transfusi darah tampaknya mengakibatkan kelanjutan penyakit HIV yang lebih cepat dan meningkatkan risiko kematian pada Odha.
EPO (eritropoietin) merangsang pembuatan sel darah merah. Pada 1985, ilmuwan berhasil membuat EPO sintetis (buatan manusia). EPO ini disuntik di bawah kulit, biasanya sekali seminggu. Namun EPO sangat mahal dan sulit terjangkau di Indonesia.
Sebuah penelitian besar terhadap Odha menemukan bahwa suntikan EPO mengurangi risiko kematian. Transfusi darah tampaknya meningkatkan risiko kematian. Karena risiko dari transfusi darah, sebaiknya kita hindari transfusi untuk mengobati anemia.
Garis Dasar
Anemia menyebabkan kelelahan dan rasa kurang enak. Anemia juga meningkatkan risiko kelanjutan penyakit dan kematian. Anemia dapat diakibatkan infeksi HIV atau penyakit lain. Banyak obat yang dipakai untuk mengobati HIV dan infeksi terkait juga dapat menyebabkan anemia.
Anemia sejak awal adalah masalah untuk Odha. Angka anemia berat menurun secara bermakna di negara maju sejak orang mulai memakai ART. Namun hampir separuh Odha masih mengalami anemia ringan atau sedang.
Mengobati anemia meningkatkan kesehatan dan daya tahan hidup Odha. Memperbaiki pendarahan, atau kekurangan zat besi atau vitamin adalah langkah pertama. Jika memungkinkan, sebaiknya berhenti memakai obat penyebab anemia. Jika perlu, pasien sebaiknya diobati dengan eritropoietin (EPO), atau jika tidak ada pilihan lain, dengan transfusi darah.

Sabtu, 02 Agustus 2008